بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ 
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Segala puji bagi Allah S.W.T. Tuhan yg mencipta segala kejadian. Selawat dan salam keatas Junjungan Besar Nabi Muhammad S.A.W. serta keluarga dan sahabatnya sekalian 
Daripada Abu Darda’ RA bahawa dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda yang maksudnya : “Tidaklah berdoa seorang muslim terhadap saudaranya secara ghaib (tanpa diketahui oleh saudaranya itu) melainkan akan berkatalah para malaikat, engkau juga beroleh yang seumpama dengannya.” (Riwayat Muslim).
Bahaya Ananiah Di Kehidupan Kita 
Bahaya
 Ananiah Di Kehidupan Kita ananiah ? Ananiyah berasal dari kata ana 
artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa 
disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri 
sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. 
Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang
 dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam 
kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya 
yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas 
segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain. Memanglah 
manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai 
mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu, 
jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini 
pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya.
 Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui 
sepenuhnya oleh Allah SWT.
Kenyataan lain yang harus 
pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di 
muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu 
Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara 
pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat) 
secara seimbang dan serasi (harmonis). Rasa cinta ini akan menumbuhkan 
percaya diri yang sangat tinggi di dalam pribadi kita, sehingga rasa 
ketidak-stabilan oleh karena ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama 
sekali, maka bersihlah diri dari sikap was-was atau ragu akan kasih 
sayang Allah, sebagaimana difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an: “Demi 
pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa. 
Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang
 mengotorinya.” (Qs.Asy-Syam : 7-10) “dan janganlah kamu memalingkan 
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka
 bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang 
sombong lagi membanggakan diri”(Qs: Luqman ayat 18:2.)
Contoh-Contoh Perilaku Ananiah 
Tidak peduli terhadap penderitaan orang lain 
Tidak mau membantu orang yang ditimpa kesusahan 
Selalu ingin menang sendiri 
Merasa diri paling memiliki kelebihan Angkuh, sombong, dan tidak mau bergaul dengan orang yang lebih rendah dari dirinya 
Menganggap lemah dan remeh terhadap orang lain 
Tidak mau menerima masukkan, saran, kritik, dan nasihat dari orang lain 
Cara Menghindari Perilaku Ananiah 
1.
 Senantiasa sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat 
hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Hal ini tercermin dalam 
Pancasila sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) 
2. Menghargai pendapat atau saran dari orang lain 
3. Senantiasa menyadari bahwa setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing 
4.
 Tanamkan keimanan yang kuat agar tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu 
setan yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke jurang kesalahan dan
 dosa 
5. Perbanyak membaca dan belajar berbagai ilmu pengetahuan yang di miliki, serta kurangnya pergaulan pelaku dengan sesamanya. 
6.
 Perbanyak bergaul dengan orang-orang yang bijak, banyak ilmunya, mulia 
akhlaknya, serta taat beribadah, sehingga kelak dapat meneladaninya 
dalam kehidupan sehari-hari. 
Larangan Bersikap Ananiah 
Islam
 melarang umatnya bersikap ananiah dan mendidik umatnya agar 
pandai-pandai menghormati orang lain sebagaimana wajarnya. ’Aisyah r.a. 
berkata sebagai berikut. Artinya: Rasulullah saw.. menyuruh kita agar 
kita menghormati manusia (orang lain) sesuai dengan kedudukannya. (H.R. 
Muslim dari ‘Aisyah).[1] Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw. 
Bersabda sebagai berikut. Artinya : Tidaklah seorang anak muda yang 
memuliakan orang tua karena ketuannya, melainkan Allah akan mengadakan 
baginya orang yang akan memuliakan dia setelah tuanya. (H.R. at-Tirmizi 
nomor 1945 dari Anas bin Malik). 
Apabila kita 
sebagai generasi muda mau menghormati yang tua, insya Allah kelak 
(setelah tua) akan dihormati pula oleh yang muda. Dengan demikian , 
hadis di atas sebagai motivasi bagi kita untuk menghormati orang lain 
(terutama yang lebih tua). Walaupun pada hadist di atas dikatakan 
menghormati orang tua karena ketuaannya, bukan berarti bahwa selain 
orang tua tidak dihormati. Semua wajib dihormati sebagaimana diri kita 
ingin dihormati. Salah satu bentuk menghormati orang lain ialah menjaga 
diri agar tidak bersikap ananiah atau egois. Sebenarnya kehidupan 
semacam itu justru bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk 
social. Artinya manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Bayangkan, 
bukankah untuk bisa berpakaian saja, kita membutuhkan peran orang 
banyak. Untuk bisa makan juga membutuhkan peran orang lain, yaitu orang 
yang menyediakan beras, lauk pauk dan sebagainya.
Karena
 itu, kita harus bisa hidup bersama dengan orang lain. Tanpa orang lain 
kita bukan apa-apa dan tidak akan bisa menjadi apa-apa. Sifat ananiah 
bertentangan dengan agama Islam. Karena Islam tidak pernah menganjurkan 
atau membolehkan pemeluknya untuk menjadi orang yang egois di 
tengah-tengah masyarakat. Allah SWT memerintahkan kita untuk saling 
tolong-menolong dalam kebaikan, dan Allah SWT melarang kita untuk 
tolong-menolong dalam hal kejelekan. Allah berfirman yang berbunyi : 
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan 
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS: 
Al-Maidah: 2) 
Ananiyah, Ghadab, Hasad, Ghibah 
Ananiyah, Ghadab, Hasad, Ghibah Ananiyah Ananiyah berasal dari kata ana 
artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. 
Sifat 
ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu 
mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan 
kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, 
karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan 
bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat 
diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan 
kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan 
kepentingan orang lain. Apakah demi kepentingan dirinya akan 
mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.
Dampak
 Negatif Dari Sifat Ananiyah Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat 
Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas kepentingan
 segala-galanya. Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap dan 
mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang 
menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun
 ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.
Allah
 subhanahu wa ta'ala berfirman : “Sekiranya kebenaran itu harus 
mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja tentulah akan binasa langit dan
 bumi dan mereka yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Muminun ayat : 71) Dari
 sifat ananiyah yang hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri akan 
lahir sifat-sifat lain yang berdampak negatif dan merusak, misalnya, 
sifat bakhil, tamak, mau menang sendiri, dhalim, meremehkan orang lain 
dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera ditanggulangi sifat ananiyah 
akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir dengan ciri khasnya 
Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan manusia. (H.R.
 Muslim dari Abdullah bin Mas’ud) 
Jika sifat ini 
menjangkiti orang-orang yang memiliki wewenang dan potensi besar 
bahayanya akan berdampak luas. Pengusaha dengan sifat ananiyah akan 
meng-gunakan kekayaannya untuk memonopoli ekonomi dengan tidak 
segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan menyingkirkan 
pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan 
sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala 
cara. Bila penyakit ananiyah menjangkiti seorang pengusaha akan 
cenderung bersifat diktator, tiranis, dan absolut. Seperti halnya 
Fir’aun, Namrud yang memerintah dengan semena-mena. Dalam kehidupan 
sehari-hari bila penyakit mental ini melekat pada diri seseorang akan 
cenderung mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung sulit 
diatur dan merusak pergaulan dengan kedhaliman, setidak-tidaknya sering 
menim-bulkan masalah.
Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka lakukan. Firman Allah subhanahu wa ta'ala : “Dan
 bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
 bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan 
perbaikan”. (QS. Al-Baqoroh : 11) Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
 bersabda : “Dari Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Muhammad 
Shallallahu’alaihi wa sallam: “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari 
kiamat”. (HR. Bukhori di dalam kitab shahihnya). Dari Abi Hurairoh r.a. 
Rasulullah 
Shallallahu’alaihi wa sallam 
bersabda: “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka
 minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang 
tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu
 akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak 
mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan 
pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya) 
Sifat
 ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa 
per-musuhan itu sangat dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa 
sallam bersabda : “Dari Aisyah r.a. dari Nabi Muhammad 
Shallallahu’alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Orang yang paling 
dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori) 
Lawan Dari Sifat Ananiyah 
Lawan
 dari sifat ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan, kepekaan 
sosial dalam pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan ummat 
atau masyarakat walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari dirinya.
 Jelas ini sifat mulia dan terpuji. Sikap dan sifat ini bisa kita jumpai
 pada orang-orang yang akidahnya baik seperti sikap orang-orang anshor 
terhadap orang-orang Muhajirin yang baru saja hijrah dari Makkah ke 
Madinah.
Allah mengabadi-kannya dalam firman-Nya: 
“Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman 
(kaum Anshor) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai 
orang-orang yang berhijrah. Dan mereka telah menaruh keinginan dalam 
hati terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, walaupun 
mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran itulah 
orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9). 
Demikianlah
 Rasulullah Shallalla-hu’alaihi wa sallam sejak awal tumbuhnya Islam 
telah meletakkan dasar-dasar kepekaan sosial, kebersamaan dan 
persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan dan rasa keber-samaan yang bukan 
karena keuntungan materi dan fanatisme kesukuan atau ashobi-yah yang 
biasanya ditandai persamaan ras, warna kulit atau bahasa. Tetapi oleh 
rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh dari kesadaran iman 
bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup sendiri, dan 
terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain.
Kita 
lihat bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan 
separoh hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum 
Muhajir, saudara seiman seakidah. Lebih jauh dari sekadar arti 
persaudaraan yang dapat mengikat antar pribadi sahabat Rasulullah, 
tetapi rasa kebersamaan itu menjadi tonggak dan pilar kokoh yang mampu 
mendukung perjuangan menghadapi tantangan-tantangan dan mampu 
mengenyahkan kesombongan, kedzaliman dan ke-musyrikan yang telah 
bercokol bertahun-tahun di negri yang tandus itu.
Begitu pentingnya rasa kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan sebagai : 
1.
 Standar nilai; Sebagaimana firman-Nya : Mereka diliputi kehinaan dimana
 saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) 
Alah dan tali perjanjian dengan manusia” (Ali Imran : 112). 
2.
 Pengikat Hati “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali (agama)
 Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan 
ingatlah akan nimat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) 
bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu. Lalu menjadikan 
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah 
berada di tepi jurang api neraka. Kemudian Allah menyelamatkan kamu dari
 padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada mu agar kamu
 mendapat petunjuk. (QS. Ali-Imran : 103) 
Ayat ini
 menjelaskan bahwa; Berpegang teguh dengan tali Allah artinya 
mengamalkan syareat Islam atau kitabullah yaitu Al-Qur’an dengan 
konsekuen. Jamii’an ialah merupakan keterangan bagaimana caranya orang 
berpegang teguh dengan tali Allah yaitu dengan cara berjama’ah 
(bersama-sama) dan dilarang berfirqoh-firqoh. Hidup berjama’ah adalah 
nikmat Allah dimana hati yang dulunya bermusuhan dapat diikat 
denganikatan ukhuwwah Islamiyah (penuh persaudaraan dan rasa 
kebersamaan). Rasa kebersamaan dan persaudaraan Islam yang diterapkan 
dlam kehidupan Al-Jama’ah penangkal dan obat sekaligus jalan keluar dari
 ikhtilaf dan sikap bermusuhan yang dapat menyelamatkan seseorang dari 
jurang neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda : “Berjama’ah itu rahmat dan berfirqoh firqoh itu adzab” (HR. Ahmad). 
“Barang
 siapa ingin berada di tengah syurga maka tetapilah Al-Jamaah” (HR. 
Tirmidzi). Kemudian tegas-tegas Allah melarang firqoh; “Dan janganlah 
kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan berselisih 
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah 
orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran : 105) 
Mencintai
 sesama “Dan Anas r.a. Dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam 
bersabda. “Demi Dzat yang diriku ditangan-Nya tidak dinamakan beriman 
sehingga ia mencintai sesama jirannya seperti apa yang ia menyukai untuk
 dirinya sendiri” (HR. Muttafaq’Alaih) 
Dan 
dalam hadist yang lain : “Dari Abdullah bin Salam ia berkata : “Telah 
bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam: “Hai Manusia 
syiarkanlah salam (kesejahteraan dan kedamaian) dan hubungilah 
keluarga-keluarga dan berilah makan (orang miskin) dan sholatlah 
malamketika manusia sedang tidur. Niscaya kamu masuk surga dengan 
sejahtera”. (Hadis dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia menshohehkannya). · 
Ufsyus salam, yang
 artinya tebarkan salam adalah dimaksudkan agar manusia dapat menciptkan
 suasana sejahtera, aman, selamat dan damai pada dirinya sendiri, 
lingkungan dan kepada manusia pada umumnya. Kita bisa melihat akibat 
positif perbuatan orang yang hatinya damai dan sejahtera, apa yang 
keluar dari hatinya, apa yang dikatakannya dan apa yang menjadi 
keputusan dan prilakunya akan memberi suasana penuh kedamaian, aman dan 
sejahtera dalam kehidupan ini. ·
Washillul Arham, menghubungkan
 kasih sayang kepada sesama dan memberi makan kepada fakir miskin 
kemudian disempurnakan dengan sholat di waktu mkam dikala manusia sedang
 tidur. Adalah aqidah dan karakter setiap muslim yang memupuk tumbuh 
suburnya sifat Itsariyah dan kepedulian sosial, solidaritas ukhuwwah 
islamiyah dan lingkungan sekaligus sama sekali tidak memberikan peluang 
tumbuhnya sifat Ananiyah, angkuh dan sombong.
Cara Menekan Sikap Ananiyah 
Untuk menekan sikap ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap itsariyah yaitu dengan :
1.
 Menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak 
yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain. 
Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai 
sesama. 
2. Membiasakan diri untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain. 
3.
 Menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus 
merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem 
kehidupan yang saling membutuhkan. 
4. Menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan. 
5.
 Menyadari bahwa hidup adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan 
perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman. 
6.
 Menyadari bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap 
congkak dan takabur yang membinasakan dan dibenci oleh Allah. 
7.
 Menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas 
dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat 
ananiyah. 
8. Menghayati dan mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah sholat, shoum, zakat dan lain lain. 
Ghadab GADHAB (baca: ghodhob)
Secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”.
Maka,
 marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat 
pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah 
sifat pemarah yang dilarang Allah dan RasulNya. Tentang hal ini 
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya ada 
seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya
 wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu 
mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu
 marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah). 
Marah Negatif & Marah Positif 
Dalam
 kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si 
Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik 
kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan
 kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau 
negatif. Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka
 marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum 
syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan 
marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, 
mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak 
hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan 
Allah dan RasulNya. Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu
 lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan 
RasulNya.
Jadi, marah positif adalah marah karena Allah
 (ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan 
(ghodhobus syaitan). Marah Karena Allah Marah karena Allah 
(ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia 
melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. 
Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, 
bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak 
lain yang marah ialah Allah.
Sebagaimana dalam sejarah 
Nabi Hud as dan kaum ‘Aad. Ia marah kepada kaumnya yang tidak mau 
mengikuti hukum syari’at yang telah Allah tetapkan atas mereka. Juga 
saat kaumnya diajak menyembah Allah subhanahu wa ta'ala, mereka 
memperolok-olokkan ajakan Nabi Hud as. Bahkan mereka menjawab: “Apakah
 kamu (Hud) datang kepada kami (kaum ‘Aad) agar kami hanya menyembah 
Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak 
kami? Maka datangkanlah adzab kepada kami jikalau kamu temasuk 
orang-orang yang benar”. Tak ayal Nabi Hud as menjawab tantangan 
kaumnya. Seperti terlukis dalam Al Qur’an: “Ia (Hud) berkata :” Sungguh 
sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Tuhanmu….” (QS. 
Al A’raaf: 71) 
Hasad 
Hasad
 adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada 
orang lain. Bukanlah definisi yang tepat untuk hasad adalah mengharapkan
 hilangnya nikmat Allah dari orang lain, bahkan semata-mata merasa tidak
 suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain itu sudah 
terhitung hasad baik diiringi harapan agar nikmat tersebut hilang 
ataupun sekedar merasa tidak suka. Demikianlah hasil pengkajian yang 
dilakukan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau 
menegaskan bahwa definisi hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat 
yang Allah berikan kepada orang lain. Hasad memiliki banyak bahaya di 
antaranya: Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka 
dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya
 adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang 
takdir Allah. Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api 
melahap kayu bakar yang kering karena biasanya orang yang hasad itu akan
 melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai dengan menyebutkan 
kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya, 
merendahkan martabatnya dll.
Ini semua adalah dosa 
besar yang bisa melahap habis berbagai kebaikan yang ada. Kesengsaraan 
yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan 
tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa 
sesak dan bersusah hati. Akan selalu dia awasi orang yang tidak dia 
sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat kepada orang lain 
maka dia berduka dan susah hati.
Memiliki sifat hasad 
adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi. Karena siapa saja yang 
memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam
 ciri khas tersebut. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud, shahih) 
Seberapa
 pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk 
menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari 
bahwa itu adalah suatu yang mustahil mengapa masih ada hasad di dalam 
hati. Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna.  
Rasulullah
 Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, “Kalian tidak akan beriman hingga
 menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya 
sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim). 
Tuntutan hadits
 di atas adalah merasa tidak suka dengan hilangnya nikmat Allah yang ada
 pada saudara sesama muslim. Jika engkau tidak merasa susah dengan 
hilangnya nikmat Allah dari seseorang maka engkau belum menginginkan 
untuk saudaramu sebagaimana yang kau inginkan untuk dirimu sendiri dan 
ini bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Hasad adalah penyebab 
meninggalkan berdoa meminta karunia Allah.
Orang yang 
hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak 
pernah berdoa meminta karunia Allah padahal Allah ta’ala berfirman,
 وَلا
 تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ 
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا 
اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ 
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا 
“Dan janganlah kamu iri
 hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih 
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada 
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) 
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah 
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala 
sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32) 
Hasad penyebab sikap 
meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang yang hasad berpandangan 
bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang dia dengki-lah yang 
mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada nikmat yang Allah berikan 
kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut akan meremehkan nikmat yang
 ada pada dirinya sehingga dia tidak mau menyukuri nikmat tersebut. 
Hasad adalah akhlak tercela.
Orang yang hasad mengawasi
 nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang di sekelilingnya dan 
berusaha menjauhkan orang lain dari orang yang tidak sukai tersebut 
dengan cara merendahkan martabatnya, meremehkan kebaikan yang telah dia 
lakukan dll. Ketika hasad timbul umumnya orang yang di dengki itu akan 
dizalimi sehingga orang yang di dengki itu punya hak di akhirat nanti 
untuk mengambil kebaikan orang yang dengki kepadanya. Jika kebaikannya 
sudah habis maka dosa orang yang di dengki akan dikurangi lalu diberikan
 kepada orang yang dengki. Setelah itu orang yang dengki tersebut akan 
dicampakkan ke dalam neraka. Ringkasnya, dengki adalah akhlak yang 
tercela, meskipun demikian sangat disayangkan hasad ini banyak ditemukan
 di antara para ulama dan dai serta di antara para pedagang.
Orang
 yang punya profesi yang sama itu umumnya saling dengki. Namun sangat 
disayangkan di antara para ulama dan para dai itu lebih besar. Padahal 
sepantasnya dan seharusnya mereka adalah orang-orang yang sangat 
menjauhi sifat hasad dan manusia yang paling mendekati kesempurnaan 
dalam masalah akhlak. Namimah Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala
 yang telah memberikan kita nikmat yang banyak, kemudian shalawat 
beserta salam tercurahkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya 
sampai akhir zaman.
Pada edisi yang lalu kita telah 
jelaskan tentang ghibah, bahayanya dan faktor-faktor pendorong yang akan
 menyebabkan munculnya ghibah tersebut. Nah pada edisi kali ini kita 
akan membahas tentang An-Namimah, yang ia merupakan salah satu diantara 
penyakit lidah yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran, baik rumah 
tangga, masyarakat dan negara Pengertian An-Namimah (menebar fitnah)
Namimah
 adalah menukilkan perkataan dua orang yang bertujuan untuk berbuat 
kerusakan, menimbulkan permusuhan dan kebencian kepada sesama mereka, sebagaimana
 firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan janganlah kamu mentaati setiap 
penyumpah yang hina, yang banyak mencela dan kian kemari menebar 
fitnah". (QS. al-Qalam: 10-11) 
Contoh dari Namimah
 ini: ketika si A berkata kepada si B tentang si C; bahwa si C itu 
orangnya tamak, rakus, lalu si B tanpa tabayyun (klarifikasi) 
menyampaikan kepada si C perkataan si A dengan tujuan agar si C marah 
dan benci kepada si A, sehingga dengan demikian si B dapat dikatakan 
sebagai orang yang berbuat Fitnah (Namimah) yaitu sebagai penyebar 
fitnah.
Hukum Namimah dan dalil-dalilnya 
Namimah
 merupakan salah satu dosa besar, dan hukumnya haram karena menimbulkan 
dampak yang sangat buruk dan sangat merugikan. Imam Munziri rahimahullah
 berkata: "Telah sepakat dan Ijma' para ulama bahwa Namimah hukumnya 
haram dan ia merupakan sebesar-besarnya dosa di sisi Allah Subhanahu wa 
Ta'ala. Dalil dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan ini:
1.
 Surat Al-Qalam ayat 10-11 yang berbunyi: "Dan janganlah kamu ikuti 
setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang 
kian kemari menghambur fitnah" 
2. Allah 
Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka (orang-orang yang berbuat namimah 
ini) sebagai orang fasiq, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 
"Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kamu orang-orang fasiq 
membawa berita maka hendaklah kamu melakukan tabayyun (klarifikasi 
terlebih dahulu) agar kamu tidak menimbulkan suatu musibah kepada suatu 
kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas 
perbuatan itu". (QS. al-Hujurat: 6) 
3. Orang 
yang berbuat hal ini dapat dikatakan sebagai orang yang bermuka dua, 
dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Engkau
 dapati sejelek-jeleknya manusia di Hari Kiamat adalah orang yang 
mempunyai dua wajah, dia datang kepada mereka dengan wajah ini dan 
kepada orang lain dengan muka yang lain". (HR. Bukhari-Muslim) 
4.
 Seseorang yang berjalan kesana-kemari menyebarkan fitnah, maka kelak 
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengazabnya di dalam kubur, hal ini 
sebagaimana yang dikhabarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
"Sesungguhnya keduanya pasti akan mendapat azab, tidaklah mereka 
mendapatkan azab disebabkan karena melakukan perkara-perkara besar, 
adapun salah satu dari keduanya adalah dia tidak bersuci dari kencing, 
sedangkan yang lainnya adalah dia berjalan kesana-kemari menyebarkan 
fitnah kepada manusia". (HR. Bukhari dan Muslim) 
Oleh
 karena itu, begitu besar bahayanya perbuatan ini dan besarnya azab 
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan celaan pada pelakunya, maka hendaklah 
seorang muslim berhati-hati dan waspada dari sifat-sifat ini dan 
menjauhkan diri dari sifat tercela ini. Sebab-sebab yang mengantarkan 
seorang melakukan  
Namimah : 
1.
 Karena kejahilan terhadap bahaya yang ditimbulkannya, atau dalam kata 
lain tidak mengerti ilmu Syar'i, sehingga dengan seenaknya tanpa merasa 
berdosa ia mau melakukan hal tersebut. 
2. Disebabkan hasad atau iri dan dengki yang akan menyebabkan seseorang mencari jalan untuk menyebarkan fitnah. 
3.
 Hati yang kotor jauh dari bimbingan Syariat, sehingga tidak tampak 
baginya kebenaran. Ia merasa puas kalau sekiranya orang lain saling 
bermusuhan, saling membenci. Oleh karena itu, bagi orang yang kotor dan 
sakit hatinya maka namimah merupakan suatu jalan baginya untuk mengotori
 hatinya. 
4. Karena berteman dengan orang-orang
 yang suka berbuat namimah, sehingga menyebabkan dia terdorong dan 
terpancing untuk melakukan namimah tersebut. 
Obat dari penyakit Namimah 
1.
 Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena itu 
orang yang ikhlas dalam beribadah sulit tergoyahkan dan mempunyai 
pendirian, sehingga dia berfikir seribu kali sebelum berbuat. 
2.
 Mengenal hakekat Namimah, dampaknya dan jalan keluarnya. Semua ini 
tentu dengan belajar dan menuntut ilmu syar'i, hadir di majlis-majlis 
ilmu, karena dengan hadirnya seseorang di majlis-majlis ilmu, maka akan 
membuat hatinya bersih dan hilangnya penyakit hatinya. 
3.
 Berteman dengan orang-orang yang Sholeh. Teman akan mempengaruhi watak 
seseorang, karena apabila seseorang ingin tahu seseorang lihat siapa 
yang menjadi teman akrabnya. 
4. Selalu 
Muraqabah, Muraqabah adalah salah satu sifat mulia, dimana seseorang 
yang senantisa muraqabah kepada Allah,maka dia akan merasakan bahwa 
dirinya merasa diawasi Oleh Allah,karena dia tahu bahwa Allah Subhanahu 
wa Ta'ala yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, tidak 
satupun yang luput dari pengetahuannya. Dengan sifat ini maka dia merasa
 takut untuk berbuat Namimah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala 
berfirman: "...dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada". 
(QS.al-Hadiid: 4) 
5. Berdoa kepada Allah Subhanahu
 wa Ta'ala supaya terhindar dari perbuatan ini, karena manusia itu 
lemah, maka perlu baginya untuk memohon bantuan dan pertolongan Allah 
Subhanahu wa Ta'ala.
Sikap seorang muslim kepada orang yang suka berbuat Namimah 
1.
 Tidak membenarkan perkataan orang yang berbuat namimah, karena dengan 
membenarkannya maka jelas akan terjadi kerusakan, kebencian, permusuhan 
dan berbagai macam fitnah lainnya. 
2. 
Melarangnya berbuat namimah. Dengan cara menasehatinya, janganlah kita 
berbuat namimah dan menyebarkannya. Dengan bersikap seperti itu berarti 
kita telah mencegahnya dari berbuat kerusakan, dan berarti kita telah 
beramal ma'ruf nahi munkar. 
3. Membencinya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena maksiyat yang dilakukannya. 
4.
 Tidak boleh langsung berburuk sangka kepada saudaranya yang tidak ada 
di hadapannya, karena buruk sangka akan menjadi pemicu bagi seseorang 
berbuat nanimah dan meyebarkan fitnah. 
5. Tidak
 boleh mencari-cari kesalahan atasnya, karena mencari-cari kesalahan 
juga menjadi pemicu munculnya berbagai macam fitnah. 
6.
 Ketika seseorang tidak suka kepada penyebar fitnah, tentu dia tidak 
akan menghiraukan sehingga fitnah itu tidak terjadi. Gibah Ghibah ialah 
mempergunjingkan orang lain tentang aib lain atau sesuatu yang apabila 
didengar oleh orang dibicarakan dia akan benci. Dalam sebuah ayat Allah 
menggambarkan laksana orang memakan daging saudara yang sudah mati. 
Allah berfirman. .Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah 
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka 
itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah 
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka 
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa 
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha 
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”( QS. Al Hujurat : 12) 
Salah
 satu perbuatan yang bisa menghapuskan pahala puasa Ramadhan adalah 
bergunjing (ghibah) di siang hari. Perbuatan ini berakibat dosa 
sekaligus menghilangkan pahala (kebaikan) dari puasa orang yang 
melakukannya. Berkumpulnya beberapa orang di waktu yang kosong atau 
suasana santai sering kali membuka peluang untuk terjadinya 
pergunjingan. Biasanya objek pergunjingan sedang tidak berada di tempat 
tersebut, sehingga para penggunjing dengan leluasa menggunjingkannya. 
Bahkan chat di internet seperti Wikimuers biasa lakukan juga berpotensi 
menjadi sarana berghibah. Dalil yang menyebutkan tentang ghibah “Hai 
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, 
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu 
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu 
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu 
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa 
jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha 
Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12) 
Ayat
 ini mengandung larangan berbuat ghibah atau menggunjing. Begitu pula 
seperti yang telah ditafsirkan pengertiannya oleh Rasulullah 
Shallallahu'alaihi Wasallam., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits 
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai
 Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah 
menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” 
Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan 
yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu 
sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila 
tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta". 
Ghibah
 yang dibolehkan Beberapa ulama membolehkan ghibah untuk tujuan yang 
benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali 
dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :
Mengajukan kedzaliman yang dilakukan oleh orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk
 mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain 
keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk 
mengadili si dzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si 
fulan (menyebutkan namanya) itu telah mendzalimi/menganiaya diriku. 
Meminta
 pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang 
berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang 
memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan 
itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka dengan demikian dia akan 
menasehatinya dan melarangnya berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah
 merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka 
ghibah tersebut haram.
Allahu Akbar


No comments:
Post a Comment
Silakan Beri Pandangan/Pendapat Anda Yang Baik Dan Bernas DiJadikan Pengajaran Imu Dan Pelajaran..