بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Segala puji bagi Allah S.W.T. Tuhan yg mencipta segala kejadian. Selawat dan salam keatas Junjungan Besar Nabi Muhammad S.A.W. serta keluarga dan sahabatnya sekalian
Daripada Abu Darda’ RA bahawa dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda yang maksudnya : “Tidaklah berdoa seorang muslim terhadap saudaranya secara ghaib (tanpa diketahui oleh saudaranya itu) melainkan akan berkatalah para malaikat, engkau juga beroleh yang seumpama dengannya.” (Riwayat Muslim).
Bahaya Ananiah Di Kehidupan Kita
Bahaya
Ananiah Di Kehidupan Kita ananiah ? Ananiyah berasal dari kata ana
artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa
disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri
sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang
dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam
kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya
yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas
segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain. Memanglah
manusia ini dilahirkan sebagai individu yang bebas dan unique. Perangai
mendahulukan diri terhadap orang lain ini kenyataannya memang perlu,
jika manusia ingin terus wujud di dunia ini. Hak mendahulukan diri ini
pun diakui dan dibenarkan oleh Allah SWT, namun ada tempat dan batasnya.
Hak ini, yang biasa disebut hak-hak pribadi (privacy), jelas diakui
sepenuhnya oleh Allah SWT.
Kenyataan lain yang harus
pula diakui oleh manusia ialah, bahwa ia tak mungkin hidup sendiri di
muka bumi ini. Setiap orang membutuhkan yang lainnya. Oleh karena itu
Allah telah rnenciptakan hukum yang menentukan batas-batas antara
pemenuhan kepentingan diri terhadap kepentingan bersama (masyarakat)
secara seimbang dan serasi (harmonis). Rasa cinta ini akan menumbuhkan
percaya diri yang sangat tinggi di dalam pribadi kita, sehingga rasa
ketidak-stabilan oleh karena ketidak-pastian tadi menjadi sirna sama
sekali, maka bersihlah diri dari sikap was-was atau ragu akan kasih
sayang Allah, sebagaimana difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an: “Demi
pribadi dan penyempurnaannya; yang berpotensi sesat dan bertaqwa.
Sungguh menanglah mereka yang mensucikannya; Sungguh rugilah mereka yang
mengotorinya.” (Qs.Asy-Syam : 7-10) “dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri”(Qs: Luqman ayat 18:2.)
Contoh-Contoh Perilaku Ananiah
Tidak peduli terhadap penderitaan orang lain
Tidak mau membantu orang yang ditimpa kesusahan
Selalu ingin menang sendiri
Merasa diri paling memiliki kelebihan Angkuh, sombong, dan tidak mau bergaul dengan orang yang lebih rendah dari dirinya
Menganggap lemah dan remeh terhadap orang lain
Tidak mau menerima masukkan, saran, kritik, dan nasihat dari orang lain
Cara Menghindari Perilaku Ananiah
1.
Senantiasa sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Hal ini tercermin dalam
Pancasila sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
2. Menghargai pendapat atau saran dari orang lain
3. Senantiasa menyadari bahwa setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing
4.
Tanamkan keimanan yang kuat agar tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu
setan yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke jurang kesalahan dan
dosa
5. Perbanyak membaca dan belajar berbagai ilmu pengetahuan yang di miliki, serta kurangnya pergaulan pelaku dengan sesamanya.
6.
Perbanyak bergaul dengan orang-orang yang bijak, banyak ilmunya, mulia
akhlaknya, serta taat beribadah, sehingga kelak dapat meneladaninya
dalam kehidupan sehari-hari.
Larangan Bersikap Ananiah
Islam
melarang umatnya bersikap ananiah dan mendidik umatnya agar
pandai-pandai menghormati orang lain sebagaimana wajarnya. ’Aisyah r.a.
berkata sebagai berikut. Artinya: Rasulullah saw.. menyuruh kita agar
kita menghormati manusia (orang lain) sesuai dengan kedudukannya. (H.R.
Muslim dari ‘Aisyah).[1] Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw.
Bersabda sebagai berikut. Artinya : Tidaklah seorang anak muda yang
memuliakan orang tua karena ketuannya, melainkan Allah akan mengadakan
baginya orang yang akan memuliakan dia setelah tuanya. (H.R. at-Tirmizi
nomor 1945 dari Anas bin Malik).
Apabila kita
sebagai generasi muda mau menghormati yang tua, insya Allah kelak
(setelah tua) akan dihormati pula oleh yang muda. Dengan demikian ,
hadis di atas sebagai motivasi bagi kita untuk menghormati orang lain
(terutama yang lebih tua). Walaupun pada hadist di atas dikatakan
menghormati orang tua karena ketuaannya, bukan berarti bahwa selain
orang tua tidak dihormati. Semua wajib dihormati sebagaimana diri kita
ingin dihormati. Salah satu bentuk menghormati orang lain ialah menjaga
diri agar tidak bersikap ananiah atau egois. Sebenarnya kehidupan
semacam itu justru bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk
social. Artinya manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Bayangkan,
bukankah untuk bisa berpakaian saja, kita membutuhkan peran orang
banyak. Untuk bisa makan juga membutuhkan peran orang lain, yaitu orang
yang menyediakan beras, lauk pauk dan sebagainya.
Karena
itu, kita harus bisa hidup bersama dengan orang lain. Tanpa orang lain
kita bukan apa-apa dan tidak akan bisa menjadi apa-apa. Sifat ananiah
bertentangan dengan agama Islam. Karena Islam tidak pernah menganjurkan
atau membolehkan pemeluknya untuk menjadi orang yang egois di
tengah-tengah masyarakat. Allah SWT memerintahkan kita untuk saling
tolong-menolong dalam kebaikan, dan Allah SWT melarang kita untuk
tolong-menolong dalam hal kejelekan. Allah berfirman yang berbunyi :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS:
Al-Maidah: 2)
Ananiyah, Ghadab, Hasad, Ghibah
Ananiyah, Ghadab, Hasad, Ghibah Ananiyah Ananiyah berasal dari kata ana
artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’.
Sifat
ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu
mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan
kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela,
karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan
bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat
diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan
kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain. Apakah demi kepentingan dirinya akan
mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.
Dampak
Negatif Dari Sifat Ananiyah Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat
Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas kepentingan
segala-galanya. Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap dan
mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang
menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun
ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.
Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman : “Sekiranya kebenaran itu harus
mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja tentulah akan binasa langit dan
bumi dan mereka yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Muminun ayat : 71) Dari
sifat ananiyah yang hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri akan
lahir sifat-sifat lain yang berdampak negatif dan merusak, misalnya,
sifat bakhil, tamak, mau menang sendiri, dhalim, meremehkan orang lain
dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera ditanggulangi sifat ananiyah
akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir dengan ciri khasnya
Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan manusia. (H.R.
Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Jika sifat ini
menjangkiti orang-orang yang memiliki wewenang dan potensi besar
bahayanya akan berdampak luas. Pengusaha dengan sifat ananiyah akan
meng-gunakan kekayaannya untuk memonopoli ekonomi dengan tidak
segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan menyingkirkan
pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala
cara. Bila penyakit ananiyah menjangkiti seorang pengusaha akan
cenderung bersifat diktator, tiranis, dan absolut. Seperti halnya
Fir’aun, Namrud yang memerintah dengan semena-mena. Dalam kehidupan
sehari-hari bila penyakit mental ini melekat pada diri seseorang akan
cenderung mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung sulit
diatur dan merusak pergaulan dengan kedhaliman, setidak-tidaknya sering
menim-bulkan masalah.
Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka lakukan. Firman Allah subhanahu wa ta'ala : “Dan
bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan”. (QS. Al-Baqoroh : 11) Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
bersabda : “Dari Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wa sallam: “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari
kiamat”. (HR. Bukhori di dalam kitab shahihnya). Dari Abi Hurairoh r.a.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka
minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang
tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu
akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak
mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan
pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya)
Sifat
ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa
per-musuhan itu sangat dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda : “Dari Aisyah r.a. dari Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Orang yang paling
dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori)
Lawan Dari Sifat Ananiyah
Lawan
dari sifat ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan, kepekaan
sosial dalam pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan ummat
atau masyarakat walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari dirinya.
Jelas ini sifat mulia dan terpuji. Sikap dan sifat ini bisa kita jumpai
pada orang-orang yang akidahnya baik seperti sikap orang-orang anshor
terhadap orang-orang Muhajirin yang baru saja hijrah dari Makkah ke
Madinah.
Allah mengabadi-kannya dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman
(kaum Anshor) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai
orang-orang yang berhijrah. Dan mereka telah menaruh keinginan dalam
hati terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, walaupun
mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran itulah
orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9).
Demikianlah
Rasulullah Shallalla-hu’alaihi wa sallam sejak awal tumbuhnya Islam
telah meletakkan dasar-dasar kepekaan sosial, kebersamaan dan
persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan dan rasa keber-samaan yang bukan
karena keuntungan materi dan fanatisme kesukuan atau ashobi-yah yang
biasanya ditandai persamaan ras, warna kulit atau bahasa. Tetapi oleh
rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh dari kesadaran iman
bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup sendiri, dan
terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain.
Kita
lihat bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan
separoh hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum
Muhajir, saudara seiman seakidah. Lebih jauh dari sekadar arti
persaudaraan yang dapat mengikat antar pribadi sahabat Rasulullah,
tetapi rasa kebersamaan itu menjadi tonggak dan pilar kokoh yang mampu
mendukung perjuangan menghadapi tantangan-tantangan dan mampu
mengenyahkan kesombongan, kedzaliman dan ke-musyrikan yang telah
bercokol bertahun-tahun di negri yang tandus itu.
Begitu pentingnya rasa kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan sebagai :
1.
Standar nilai; Sebagaimana firman-Nya : Mereka diliputi kehinaan dimana
saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama)
Alah dan tali perjanjian dengan manusia” (Ali Imran : 112).
2.
Pengikat Hati “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali (agama)
Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan
ingatlah akan nimat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu. Lalu menjadikan
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah
berada di tepi jurang api neraka. Kemudian Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada mu agar kamu
mendapat petunjuk. (QS. Ali-Imran : 103)
Ayat ini
menjelaskan bahwa; Berpegang teguh dengan tali Allah artinya
mengamalkan syareat Islam atau kitabullah yaitu Al-Qur’an dengan
konsekuen. Jamii’an ialah merupakan keterangan bagaimana caranya orang
berpegang teguh dengan tali Allah yaitu dengan cara berjama’ah
(bersama-sama) dan dilarang berfirqoh-firqoh. Hidup berjama’ah adalah
nikmat Allah dimana hati yang dulunya bermusuhan dapat diikat
denganikatan ukhuwwah Islamiyah (penuh persaudaraan dan rasa
kebersamaan). Rasa kebersamaan dan persaudaraan Islam yang diterapkan
dlam kehidupan Al-Jama’ah penangkal dan obat sekaligus jalan keluar dari
ikhtilaf dan sikap bermusuhan yang dapat menyelamatkan seseorang dari
jurang neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda : “Berjama’ah itu rahmat dan berfirqoh firqoh itu adzab” (HR. Ahmad).
“Barang
siapa ingin berada di tengah syurga maka tetapilah Al-Jamaah” (HR.
Tirmidzi). Kemudian tegas-tegas Allah melarang firqoh; “Dan janganlah
kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran : 105)
Mencintai
sesama “Dan Anas r.a. Dari Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda. “Demi Dzat yang diriku ditangan-Nya tidak dinamakan beriman
sehingga ia mencintai sesama jirannya seperti apa yang ia menyukai untuk
dirinya sendiri” (HR. Muttafaq’Alaih)
Dan
dalam hadist yang lain : “Dari Abdullah bin Salam ia berkata : “Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam: “Hai Manusia
syiarkanlah salam (kesejahteraan dan kedamaian) dan hubungilah
keluarga-keluarga dan berilah makan (orang miskin) dan sholatlah
malamketika manusia sedang tidur. Niscaya kamu masuk surga dengan
sejahtera”. (Hadis dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia menshohehkannya). ·
Ufsyus salam, yang
artinya tebarkan salam adalah dimaksudkan agar manusia dapat menciptkan
suasana sejahtera, aman, selamat dan damai pada dirinya sendiri,
lingkungan dan kepada manusia pada umumnya. Kita bisa melihat akibat
positif perbuatan orang yang hatinya damai dan sejahtera, apa yang
keluar dari hatinya, apa yang dikatakannya dan apa yang menjadi
keputusan dan prilakunya akan memberi suasana penuh kedamaian, aman dan
sejahtera dalam kehidupan ini. ·
Washillul Arham, menghubungkan
kasih sayang kepada sesama dan memberi makan kepada fakir miskin
kemudian disempurnakan dengan sholat di waktu mkam dikala manusia sedang
tidur. Adalah aqidah dan karakter setiap muslim yang memupuk tumbuh
suburnya sifat Itsariyah dan kepedulian sosial, solidaritas ukhuwwah
islamiyah dan lingkungan sekaligus sama sekali tidak memberikan peluang
tumbuhnya sifat Ananiyah, angkuh dan sombong.
Cara Menekan Sikap Ananiyah
Untuk menekan sikap ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap itsariyah yaitu dengan :
1.
Menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak
yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain.
Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai
sesama.
2. Membiasakan diri untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain.
3.
Menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus
merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem
kehidupan yang saling membutuhkan.
4. Menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan.
5.
Menyadari bahwa hidup adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan
perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman.
6.
Menyadari bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap
congkak dan takabur yang membinasakan dan dibenci oleh Allah.
7.
Menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas
dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat
ananiyah.
8. Menghayati dan mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah sholat, shoum, zakat dan lain lain.
Ghadab GADHAB (baca: ghodhob)
Secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”.
Maka,
marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat
pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah
sifat pemarah yang dilarang Allah dan RasulNya. Tentang hal ini
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya ada
seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya
wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu
mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu
marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).
Marah Negatif & Marah Positif
Dalam
kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si
Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik
kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan
kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau
negatif. Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka
marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum
syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan
marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua,
mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak
hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan
Allah dan RasulNya. Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu
lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan
RasulNya.
Jadi, marah positif adalah marah karena Allah
(ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan
(ghodhobus syaitan). Marah Karena Allah Marah karena Allah
(ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia
melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin.
Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab,
bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak
lain yang marah ialah Allah.
Sebagaimana dalam sejarah
Nabi Hud as dan kaum ‘Aad. Ia marah kepada kaumnya yang tidak mau
mengikuti hukum syari’at yang telah Allah tetapkan atas mereka. Juga
saat kaumnya diajak menyembah Allah subhanahu wa ta'ala, mereka
memperolok-olokkan ajakan Nabi Hud as. Bahkan mereka menjawab: “Apakah
kamu (Hud) datang kepada kami (kaum ‘Aad) agar kami hanya menyembah
Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak
kami? Maka datangkanlah adzab kepada kami jikalau kamu temasuk
orang-orang yang benar”. Tak ayal Nabi Hud as menjawab tantangan
kaumnya. Seperti terlukis dalam Al Qur’an: “Ia (Hud) berkata :” Sungguh
sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Tuhanmu….” (QS.
Al A’raaf: 71)
Hasad
Hasad
adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada
orang lain. Bukanlah definisi yang tepat untuk hasad adalah mengharapkan
hilangnya nikmat Allah dari orang lain, bahkan semata-mata merasa tidak
suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain itu sudah
terhitung hasad baik diiringi harapan agar nikmat tersebut hilang
ataupun sekedar merasa tidak suka. Demikianlah hasil pengkajian yang
dilakukan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau
menegaskan bahwa definisi hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat
yang Allah berikan kepada orang lain. Hasad memiliki banyak bahaya di
antaranya: Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka
dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya
adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang
takdir Allah. Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api
melahap kayu bakar yang kering karena biasanya orang yang hasad itu akan
melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai dengan menyebutkan
kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya,
merendahkan martabatnya dll.
Ini semua adalah dosa
besar yang bisa melahap habis berbagai kebaikan yang ada. Kesengsaraan
yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan
tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa
sesak dan bersusah hati. Akan selalu dia awasi orang yang tidak dia
sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat kepada orang lain
maka dia berduka dan susah hati.
Memiliki sifat hasad
adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi. Karena siapa saja yang
memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam
ciri khas tersebut. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud, shahih)
Seberapa
pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk
menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari
bahwa itu adalah suatu yang mustahil mengapa masih ada hasad di dalam
hati. Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna.
Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, “Kalian tidak akan beriman hingga
menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya
sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tuntutan hadits
di atas adalah merasa tidak suka dengan hilangnya nikmat Allah yang ada
pada saudara sesama muslim. Jika engkau tidak merasa susah dengan
hilangnya nikmat Allah dari seseorang maka engkau belum menginginkan
untuk saudaramu sebagaimana yang kau inginkan untuk dirimu sendiri dan
ini bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Hasad adalah penyebab
meninggalkan berdoa meminta karunia Allah.
Orang yang
hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak
pernah berdoa meminta karunia Allah padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32)
Hasad penyebab sikap
meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang yang hasad berpandangan
bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang dia dengki-lah yang
mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada nikmat yang Allah berikan
kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut akan meremehkan nikmat yang
ada pada dirinya sehingga dia tidak mau menyukuri nikmat tersebut.
Hasad adalah akhlak tercela.
Orang yang hasad mengawasi
nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang di sekelilingnya dan
berusaha menjauhkan orang lain dari orang yang tidak sukai tersebut
dengan cara merendahkan martabatnya, meremehkan kebaikan yang telah dia
lakukan dll. Ketika hasad timbul umumnya orang yang di dengki itu akan
dizalimi sehingga orang yang di dengki itu punya hak di akhirat nanti
untuk mengambil kebaikan orang yang dengki kepadanya. Jika kebaikannya
sudah habis maka dosa orang yang di dengki akan dikurangi lalu diberikan
kepada orang yang dengki. Setelah itu orang yang dengki tersebut akan
dicampakkan ke dalam neraka. Ringkasnya, dengki adalah akhlak yang
tercela, meskipun demikian sangat disayangkan hasad ini banyak ditemukan
di antara para ulama dan dai serta di antara para pedagang.
Orang
yang punya profesi yang sama itu umumnya saling dengki. Namun sangat
disayangkan di antara para ulama dan para dai itu lebih besar. Padahal
sepantasnya dan seharusnya mereka adalah orang-orang yang sangat
menjauhi sifat hasad dan manusia yang paling mendekati kesempurnaan
dalam masalah akhlak. Namimah Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang telah memberikan kita nikmat yang banyak, kemudian shalawat
beserta salam tercurahkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
sampai akhir zaman.
Pada edisi yang lalu kita telah
jelaskan tentang ghibah, bahayanya dan faktor-faktor pendorong yang akan
menyebabkan munculnya ghibah tersebut. Nah pada edisi kali ini kita
akan membahas tentang An-Namimah, yang ia merupakan salah satu diantara
penyakit lidah yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran, baik rumah
tangga, masyarakat dan negara Pengertian An-Namimah (menebar fitnah)
Namimah
adalah menukilkan perkataan dua orang yang bertujuan untuk berbuat
kerusakan, menimbulkan permusuhan dan kebencian kepada sesama mereka, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan janganlah kamu mentaati setiap
penyumpah yang hina, yang banyak mencela dan kian kemari menebar
fitnah". (QS. al-Qalam: 10-11)
Contoh dari Namimah
ini: ketika si A berkata kepada si B tentang si C; bahwa si C itu
orangnya tamak, rakus, lalu si B tanpa tabayyun (klarifikasi)
menyampaikan kepada si C perkataan si A dengan tujuan agar si C marah
dan benci kepada si A, sehingga dengan demikian si B dapat dikatakan
sebagai orang yang berbuat Fitnah (Namimah) yaitu sebagai penyebar
fitnah.
Hukum Namimah dan dalil-dalilnya
Namimah
merupakan salah satu dosa besar, dan hukumnya haram karena menimbulkan
dampak yang sangat buruk dan sangat merugikan. Imam Munziri rahimahullah
berkata: "Telah sepakat dan Ijma' para ulama bahwa Namimah hukumnya
haram dan ia merupakan sebesar-besarnya dosa di sisi Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Dalil dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan ini:
1.
Surat Al-Qalam ayat 10-11 yang berbunyi: "Dan janganlah kamu ikuti
setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang
kian kemari menghambur fitnah"
2. Allah
Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka (orang-orang yang berbuat namimah
ini) sebagai orang fasiq, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kamu orang-orang fasiq
membawa berita maka hendaklah kamu melakukan tabayyun (klarifikasi
terlebih dahulu) agar kamu tidak menimbulkan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatan itu". (QS. al-Hujurat: 6)
3. Orang
yang berbuat hal ini dapat dikatakan sebagai orang yang bermuka dua,
dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Engkau
dapati sejelek-jeleknya manusia di Hari Kiamat adalah orang yang
mempunyai dua wajah, dia datang kepada mereka dengan wajah ini dan
kepada orang lain dengan muka yang lain". (HR. Bukhari-Muslim)
4.
Seseorang yang berjalan kesana-kemari menyebarkan fitnah, maka kelak
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengazabnya di dalam kubur, hal ini
sebagaimana yang dikhabarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya keduanya pasti akan mendapat azab, tidaklah mereka
mendapatkan azab disebabkan karena melakukan perkara-perkara besar,
adapun salah satu dari keduanya adalah dia tidak bersuci dari kencing,
sedangkan yang lainnya adalah dia berjalan kesana-kemari menyebarkan
fitnah kepada manusia". (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh
karena itu, begitu besar bahayanya perbuatan ini dan besarnya azab
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan celaan pada pelakunya, maka hendaklah
seorang muslim berhati-hati dan waspada dari sifat-sifat ini dan
menjauhkan diri dari sifat tercela ini. Sebab-sebab yang mengantarkan
seorang melakukan
Namimah :
1.
Karena kejahilan terhadap bahaya yang ditimbulkannya, atau dalam kata
lain tidak mengerti ilmu Syar'i, sehingga dengan seenaknya tanpa merasa
berdosa ia mau melakukan hal tersebut.
2. Disebabkan hasad atau iri dan dengki yang akan menyebabkan seseorang mencari jalan untuk menyebarkan fitnah.
3.
Hati yang kotor jauh dari bimbingan Syariat, sehingga tidak tampak
baginya kebenaran. Ia merasa puas kalau sekiranya orang lain saling
bermusuhan, saling membenci. Oleh karena itu, bagi orang yang kotor dan
sakit hatinya maka namimah merupakan suatu jalan baginya untuk mengotori
hatinya.
4. Karena berteman dengan orang-orang
yang suka berbuat namimah, sehingga menyebabkan dia terdorong dan
terpancing untuk melakukan namimah tersebut.
Obat dari penyakit Namimah
1.
Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena itu
orang yang ikhlas dalam beribadah sulit tergoyahkan dan mempunyai
pendirian, sehingga dia berfikir seribu kali sebelum berbuat.
2.
Mengenal hakekat Namimah, dampaknya dan jalan keluarnya. Semua ini
tentu dengan belajar dan menuntut ilmu syar'i, hadir di majlis-majlis
ilmu, karena dengan hadirnya seseorang di majlis-majlis ilmu, maka akan
membuat hatinya bersih dan hilangnya penyakit hatinya.
3.
Berteman dengan orang-orang yang Sholeh. Teman akan mempengaruhi watak
seseorang, karena apabila seseorang ingin tahu seseorang lihat siapa
yang menjadi teman akrabnya.
4. Selalu
Muraqabah, Muraqabah adalah salah satu sifat mulia, dimana seseorang
yang senantisa muraqabah kepada Allah,maka dia akan merasakan bahwa
dirinya merasa diawasi Oleh Allah,karena dia tahu bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, tidak
satupun yang luput dari pengetahuannya. Dengan sifat ini maka dia merasa
takut untuk berbuat Namimah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman: "...dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada".
(QS.al-Hadiid: 4)
5. Berdoa kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala supaya terhindar dari perbuatan ini, karena manusia itu
lemah, maka perlu baginya untuk memohon bantuan dan pertolongan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Sikap seorang muslim kepada orang yang suka berbuat Namimah
1.
Tidak membenarkan perkataan orang yang berbuat namimah, karena dengan
membenarkannya maka jelas akan terjadi kerusakan, kebencian, permusuhan
dan berbagai macam fitnah lainnya.
2.
Melarangnya berbuat namimah. Dengan cara menasehatinya, janganlah kita
berbuat namimah dan menyebarkannya. Dengan bersikap seperti itu berarti
kita telah mencegahnya dari berbuat kerusakan, dan berarti kita telah
beramal ma'ruf nahi munkar.
3. Membencinya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena maksiyat yang dilakukannya.
4.
Tidak boleh langsung berburuk sangka kepada saudaranya yang tidak ada
di hadapannya, karena buruk sangka akan menjadi pemicu bagi seseorang
berbuat nanimah dan meyebarkan fitnah.
5. Tidak
boleh mencari-cari kesalahan atasnya, karena mencari-cari kesalahan
juga menjadi pemicu munculnya berbagai macam fitnah.
6.
Ketika seseorang tidak suka kepada penyebar fitnah, tentu dia tidak
akan menghiraukan sehingga fitnah itu tidak terjadi. Gibah Ghibah ialah
mempergunjingkan orang lain tentang aib lain atau sesuatu yang apabila
didengar oleh orang dibicarakan dia akan benci. Dalam sebuah ayat Allah
menggambarkan laksana orang memakan daging saudara yang sudah mati.
Allah berfirman. .Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka
itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”( QS. Al Hujurat : 12)
Salah
satu perbuatan yang bisa menghapuskan pahala puasa Ramadhan adalah
bergunjing (ghibah) di siang hari. Perbuatan ini berakibat dosa
sekaligus menghilangkan pahala (kebaikan) dari puasa orang yang
melakukannya. Berkumpulnya beberapa orang di waktu yang kosong atau
suasana santai sering kali membuka peluang untuk terjadinya
pergunjingan. Biasanya objek pergunjingan sedang tidak berada di tempat
tersebut, sehingga para penggunjing dengan leluasa menggunjingkannya.
Bahkan chat di internet seperti Wikimuers biasa lakukan juga berpotensi
menjadi sarana berghibah. Dalil yang menyebutkan tentang ghibah “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat:12)
Ayat
ini mengandung larangan berbuat ghibah atau menggunjing. Begitu pula
seperti yang telah ditafsirkan pengertiannya oleh Rasulullah
Shallallahu'alaihi Wasallam., sebagaimana yang terdapat di dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ghibah itu?” Rasulullah
menjawab, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.”
Ditanyakan lagi, “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan
yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Bila keadaan saudaramu itu
sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila
tidak terdapat apa yang kamu katakan maka kamu telah berdusta".
Ghibah
yang dibolehkan Beberapa ulama membolehkan ghibah untuk tujuan yang
benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali
dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :
Mengajukan kedzaliman yang dilakukan oleh orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk
mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain
keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk
mengadili si dzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si
fulan (menyebutkan namanya) itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.
Meminta
pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang
berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang
memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan
itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka dengan demikian dia akan
menasehatinya dan melarangnya berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah
merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka
ghibah tersebut haram.
Allahu Akbar
No comments:
Post a Comment
Silakan Beri Pandangan/Pendapat Anda Yang Baik Dan Bernas DiJadikan Pengajaran Imu Dan Pelajaran..